Posted on Selasa, 19 Februari 2013 · Leave a Comment
Buka www.Teknokra.com |
Mesuji-Lampung:
Perjalanan menuju tiga Desa di perbatasan sungai Mesuji yaitu Sritanjung, Nipah
kuning dan Kagungan Dalam harus ditempuh kurang lebih empat jam dari jalan lintas timur perempatan
Simpang Pematang. Masuk menuju kawasan Register 45 kemudian melewati beberapa
desa Transmigrasi dan baru masuk ke wilayah perkebunan karet dan sawit baik
milik warga maupun milik Perusahaan.
Jalan
yang dilalui bukanlah jalan yang mulus. Jalan dengan keadaan tanah merah dan
rusak parah karena banyaknya lubang hasil tersangkutnya ban mobil besar maupun
kecil menambah lambat perjalanan. Belum lagi jika musim penghujan. Keadaan
jalan akan makin parah bahkan mungkin sebagian kendaraan mesti mengambil jalan
pintas menuju ketiga desa tersebut dengan masuk kekawasan kebun karet. Jalan
ini pun bukan hasil pembukaan jalan oleh Pemerintah daerah tetapi karena swadaya
masyarakat dan karena berdirinya beberapa perusahaan. Penerangan jalan pun jauh
dari harapan. Tidak ada sama sekali. Sehingga kendaraan mesti sangat
berhati-hati memasuki daerah tersebut.
Menuju
ke desa yang bisa dibilang terisolir ketika musim penghujan bukanlah perkara
mudah. Kebanyakan warga yang ingin masuk kedaerah ini meski berfikir
berkali-kali jika tidak ada kepentingan yang mendesak. Sritanjung, Nipah Kuning
dan Kagungan Dalam berada di wilayah kabupaten Mesuji hasil pemekaran Kabupaten
Tulang Bawang, Lampung. Ketiga desa ini berbatasan langsung dengan Provinsi
Sumatera Selatan yang hanya dipisahkan
oleh sungai Mesuji. Berjarak sekitar satu kilometer.
Kehidupan
masyarakat di desa sekilas terlihat hampir sama pada umumnya. Ketiga desa ini
memang mencuat namanya ketika menjadi sorotan pasca di laporkannya aksi
pelanggaran Hak Asasi Manusia di sodong. Kemudian karena kasusnya hampir mirip
dengan kasus pada desa sodong maka terkuak pula adanya kasus kekerasan yang
diduga dilakukan pihak perusahaan PT.Barat Selatan Makmur Investindo (BSMI)
kepada warga yang mengakibatkan satu orang warga Kagungan Dalam meninggal dunia
dan
tujuh warga terkena tembakan peluru api maupun peluru karet dalam
insiden yang terjadi pada tanggal 10 November lalu atau bertepatan dengan hari
Pahlawan. Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dipimpin oleh Deny Indrayana
atas instruksi presiden telah di bentuk. Sebagai tim yang diharapkan masyarakat
bisa mengungkap kebenaran tanpa ada keberpihakan kepada golongan tertentu.
Peristiwa 10 November
2011
Waisah
(48) tidak mengira hari itu kamis, (10/11) menjadi hari yang paling mengerikan
dalam hidupnya. Keadaan desa Sritanjung yang telah menjadi naungan hidupnya
selama lebih dari umur yang dimilikinya begitu mencekam. Korban luka tembak
mulai berjatuhan akibat bentrok panas yang terjadi di wilayah PT. Barat Selatan
Makmur Investindo (BSMI), antar masyarakat desa Sritanjung, Kagungan Dalam dan
Nipah Kuning Kecamatan Mesuji, Lampung dengan puluhan polisi, marinir dan
brimob yang siaga di areal PT.BSMI.
“Seperti
perang dizaman penjajahan hari itu, warga luka tembak dengan darah mengalir
berdatangan di Desa,” ujar Waisah bercerita. Siang itu, sekitar pukul 11.00
WIB menjadi puncak kemarahan sekitar
300an warga dari tiga desa yaitu Sritanjung, Nipah Kuning dan Keagungan Dalam yang
berada dikawasan PT.BSMI.
Saksi
kunci sekaligus korban menuturkan, pagi itu firasat tak enak sudak dirasa
sebelum dirinya berangkat ke perkebunan ujar Hendrik (35) warga Sri Tanjung
yang mengaku pernah bekerja di PT BSMI sebagai satpam blok. Hendrik hendak
pergi ke perkebunan dengan maksud ikut melakukan pemanenan seperti yang telah
dilakukan warga lain. Panen dilakukan di lahan kelapa sawit yang telah di klaim
oleh masyarakat sebagai lahan mereka.
Ia
mengaku baru pertama kali itu hendak
ikut melakukan pemanenan. Alasan hendrik ikut memanen karena dirinya mengaku
kesal dengan tindakan PT.BSMI telah memutuskan hubungan kerja dengan dalih
penonaktifan sementara kepada petugas PAM Blok sejak 4 November 2011. Tak hanya
itu gajih bulan Oktober yang harusnya sudah diterimapun belum dibayarkan hingga
memasuki awal November. Beberapa kali Hendrik mencoba menayakan kepada pihak
perusahaan. Alasan tak pernah berubah, gajih sedang di gantung. Hendrik yang
telah bekerja di PT BSMI sejak 2005 ini juga mengaku dirinya dalam satu bulan
bekerja hanya di bayar 20 hari dengan gajih 32 ribu per hari. Hal ini dilakukan
pihak perusahaan sejak terjadinya krisis global yang terjadi beberapa tahun
terakhir ini. Dan perusahaan menjadikan itu sebagai alasan pengurangan gaji
harian ketika para karyawan menanyakan permasalahan itu.
Akhirnya
Hendrik memutuskan untuk melakukan pemanenan pada rabu pagi itu. Hendrik tidak
pergi sendiri tapi dirinya mengajak Gani (40) yang memang rumahnya bersebelahan
dengan rumahnya. Dengan berboncengan menggunakan sepeda motor milik Hendrik
mereka menuju lahan perkebunan. Hendrik dan Gani memutuskan melakukan pemanenan
di blok R24, blok ini dulunya merupakan Blok yang dijaga oleh Hendrik dan
merupakan primer perbatasan antara lahan Inti dengan lahan yang seharusnya
menjadi lahan plasma.
Sesampainya
di Blok R24 Hendrik dan Gani menemukan Pos R24 yang sudah dibakar. Tidak
mengetahui siapa yang melakukannya yang kemungkinan dilakukan pada malam hari.
Hendrik dan Gani tetap melakukan pemanenan tidak jauh dari pos yang terbakar
tersebut. Setelah melakukan pemanenan, Gani dan Hendrik yang hendak memindahkan hasil panenen ke
dekat jalan. Baru sekitar 10 janjang
kelapa sawit hasil panenan mereka angkut, dari kejauhan Hendrik melihat
rombongan petugas keamanan mengenakan seragam loreng. Tanpa pikir panjang
Hendrik lari menghampiri Gani dan mereka berdua lari ketakutan. Tak jalas
alasan kenapa merake takut namun keduanya mengaku takut di tangkap.
Melihat
kedua warga lari petugas patroli yang pada saat itu adalah satuan marinir
berteriak agar mereka tidak lari. Namun keduanya tetap lari dengan meniggalkan
motor dan hasil panenennya. Hendrik dan Gani saat itu lari terpisah.
Gani
yang mengaku ketakutan terus berlari tak tentu arah, sedangkan Hendrik lari tak
jauh dari lokasi awal pemanenan dan segera menghubungi adiknya yang berada di
kampung melalui Hp yang dibawa.
Berawal
dari kajadian itu warga mulai berkumpul. Puluhan warga yang memang pada saat
itu berada di lahan perkebunan mendatangi rombongan petugas marinir hendak
menayakan apa yang terjadi dan meminta kendaraan Hendrik untuk di kembalikan,
rombongan marinir pun menyerahkan motor Hendrik. Namun dalam pengkuannya Hendrik
menerima motor miliknya sudah tidak di tempat semula dan dalam keadaan kunci
stang yang patah, ban depan dan belakang sudah dalam keadaan kempes, kabel busi
yang diputus dan kondisi motor sudah lecet semua. “Kemungkinan motor saya di
tarik,” ujar Hendrik saat menceritakan kejadian tersebut.
Setelah
petugas patroli meninggalkan lokasi perkebunan, Hendrik baru sadar Gani yang
semula bersama Hendrik belum terlihat.
Warga yang sudah berkumpul saat itu
sekitar 200an orang berinisiatif untuk mencari Gani di areal perkebunan.
Setelah mencari diantara pepohonan sawit sekitar 30 menit Gani tidak juga
ditemukan. Warga mulai cemas Gani ditangkap oleh petugas patroli.
Pukul 11.00
Sekitar 200an masyarakat yang dihubungi Hendrik, ramai-ramai mendatangi Pos
Divisi 2 PT.BSMI. sambil membawa beberapa senjata tajam yang mereka gunakan
untuk memanen sawit seperti parang, alat sodos, dan lain-lain masyarakat
mendatangi Pos Divisi 2. Massa yang berjumlah ratusan orang mulai menanyakan
keberadaan tentang hilangnya Gani kepada sekitar 20an petugas kepolisian yang
berjaga di Pos Divisi 2 PT.BSMI. Saat itu terjadilah percekcokan antara polisi
dengan masyarakat. Polisi yang takut aksi massa memuncak karena semua membawa
senjata tajam akhirnya mengeluarkan tembakan dan Rano Karno tertembak dibagian
perut dan tangan.
Rizal juga menceritakan kronologis kejadianya. Setelah
sampai di Pos Divisi dua warga sempat berdialog dengan petugas Brimob yang
memang berada di Pos itu. Warga hanya menayakan apakah Gani ditangkap. Awalnya 6 orang yang perwakilan
yang menemui petugas Kepolisian untuk
menanyakan keberadaan Gani yaitu
Rizal, Dikin, Rano Karno, Fudin dan Roali. Namun, petugas
polisi dengan nada tinggi mengatakan tidak tahu keberadaan Gani. Karena pada
waktu itu petugas polisi mengaku tidak melakukan patroli dan belum ada
koordinasi dengan petugas marinir yang berpatroli. Petugas brimob dan
kepolisian saat itu berjumlah sekitar 20 orang dan memerintahkan warga untuk
bubar dan mencari Gani sendiri.
Merasa
mendapat perlakuan yang menurut warga tidak sesuai wargapun mulai panas. Hingga
akhirnya bentrok warga dengan petugas terjadi. Suasana semakin tidak
terkontrol. Dan merasa terancam pihak kepolisian mengeluarkan tembakan. Hingga
akhirnya salah seorang dari warga yaitu Rano Karno yang saat itu hendak pergi
dan belum sempat menghidupkan motornya terkena sasaran tembakan dari petugas di
perut dan bagian lengannya. Melihat salah seorang warga tertembak warga semakin
brutal dan menghancurkan seluruh mes dan isinya di Divisi II Hingga terjadi
pembakaran. Melihat warga yang semakin tidak terkendali Petugas kepolisian dan
brimob mundur dan meninggalkan pos Divisi II.
Petugas Polisi mundur dari Pos
Divisi II PT. BSMI menuju lokasi pabrik untuk
mengamankan karyawan yang bekerja di PT. BSMI dan
barang-barang milik
pabrik.
Berdasarkan keterangan Kadiv Humas Polres Tulang Bawang Bambang Suepeno, pihak
kepolisian mendapatkan laporan bahwa masa sudah melakukan
tindakan anarkis dan jumlahnya besar
sehingga Kapolres memerintahkan untuk menambah sekitar 60 orang gabungan personil
Polda, Polres dan Brimob. Satu diantaranya Kapolres Tulang Bawang.
Sekitar
pukul 15.00 Personil
tambahan tersebut sampai di pabrik. “dari kejauhan personil polisi
yang diterjunkan melihat asap sudah
mengepul di beberapa titik,” ujar Humas
Polres Tulang Bawang Bambang Supeno yang saat itu ikut ke lokasi.
Begitu
juga dengan pos polisi yang
ada dipabrik juga sudah terbakar. Saat itu massa yang jumlahnya sekitar 400an sudah berada di pabrik.
Begitu rombongan kepolisian datang dan baru memasuki Guest House
sekitar 7 motor menghampiri mobil patroli petugas dan saat itu Kapolres ada di mobil paling depan. Salah satu warga yang
berada di barisan paling depan adalah Zaelani (50) membonceng anaknya Sarni (25). Sekitar 4 meter
mendekati mobil Sarni anak Zaelani melompat dari motor dan berlari menghindar.
Sedangkan Zaelani yang merupakan warga desa Keagungan Dalam dengan posisi mengendarai motor satu
tangannya mengacungkan parang panjang. Gani terus mendekati mobil kepolisian
dan karena dikhawatirkan dapat membahayakan personil termasuk
Kapolres terdengarlah suara Tembakan. Dan Zaelani pun tersungkur di tempat.
Melihat pamannya terseungkur, Muslim
(17) hendak menolong namun tembakan juga bersarang di
kakinya. Warga yang mendengar tembakan yang bertubi-tubi menjadi kalangkabut
dan berusaha menyelamatkan diri. Namun beberapa orang terkena sasaran tembak
seperti Robin (17) yang tertembak dibagian kaki kiri dan Harun (17) tertembak
dibagian tumit kiri.Korban pun berjatuhan warga yang semula hanya ingin
menanyakan keberadaan salah satu warganya di sambut brondongan tembakan.
Zaelanipun,
gagal diselamatkan warga, karena pihak kepolisian membawa Zaelani didalam mobil
polisi. Rizal saksi mata ditempat
kejadian mengatakan petugas kepolisi saat
di pabrik mengeluarkan tembakan secara langsung tanpa tembakan peringatan, “Kami belum sempat berdialog dengan kepolisian saat di pabrik, tapi polisi sudah
langsung memberondongi kami dengan tembakan” ujar rizal yang tinggal di desa
Sritanjung.
Kaporles
Tulang Bawang, AKBP Shobarmen yang berada ditempat ikut menenangkan massa.
Massa terus memaksa kepolisian untuk melepaskan Zaelani yang diduga ditangkap
pihak kepolisian. Setelah kejadian
itu,
pihak
kepolisian pun mundur dan benar-benar mengosongkan
pabrik sedang warga melakukan pembakaran
terhadap pabrik PT.BSMI sebagai puncak kekesalan.
Awal mula Konflik
PT.BSMI
Kehidupan
masyarakat di sepanjang Sungai Mesuji, atau sering juga di sebut sebagai Mesuji
Perairan mulanya benar-benar mengandalkan alam. Semua warganya berpenghasilan
dari lahan yang oleh mereka selama ini disebut sebagai tanah ulayat atau tanah adat yang secara turun
temurun mereka tinggali dan mereka garap sebagai sumber kehidupan. Tanah ini
memang diakui oleh negara.
Masing-masing
warga bebas menggarap lahan sesuai dengan kemampuan mereka. Mereka menanaminya
dengan tanaman buah, kayu dan ada juga yang dimanfaatkan sebagai lahan padi Sonoran yaitu padi sebar yang akan
tumbuh ketika musim penghujan. Hasil dari padi sonoran ini bisa dipakai untuk
memenuhi kebutuhan beras selama 3 tahun dalam sekali panen. Tak pernah terjadi
perebutan lahan antar warga. Wargapun merasakan kesejahteraan dari hasil
garapan lahan mereka. Selain itu warga juga masih dapat menikmati melimpahnya
ikan di sepanjang aliran sungai Mesuji yang menjadi batas antara provinsi
Lampung dan Sumatera Selatan.
Hingga
akhirnya pada tahun 1994 beberapa orang dari pemerintah daerah yang saat itu
masih dalam Kabupaten Tulang Bawang bersama petugas Badan Pertanahan Nasional (BPN)
Lampung Utara datang. Mereka memberikan sosialisasi akan adanya sebuah
perusahaan perkebunan yang akan beroprasi di lahan mereka. Perusahaan itu
adalah PT. Barat Selatan Makmur Investindo (BSMI). Status PT.BSMI saat itu
sudah mendapatkan Izin Usaha, jadi warga hanya dilibatkan dalam sosialisasi
penentuan luas wilayah dan penentuan harga ganti rugi lahan garapan warga yang
termasuk dalam lahan perusahaan. Walaupun akhirnya penetapan harga tersebut dilakukan
sepihak.
Wilayah
yang awalnya di tentukan dalam izin PT. BSMI adalah seluas 10.000 ha sebagai
lahan inti, dan lahan seluas 7000 ha untuk plasma. Lahan plasma merupakan
pengelolaan lahan perkebunan yang dilakukan secara kemitraan antara Perusahaan
dengan warga. Setelah berjalan warga dipekerjakan sebagai buruh harian lepas
dengan upah saat itu 12 ribu. Dengan masa kerja yang semakin lama semakin tak
tentu harinya.
PT.BSMI
pada tahun 1995 menambah lokasinya namun atas nama PT.Lampung Inter Pertiwi
(LIP) seluas 6000 hektar. LIP masih satu pimpinan dengan BSMI. PT. BSMI juga Menentukan
harga yang sepihak, menetapkan tanah rekognisi sebesar 50% sehingga tanah yang
dibayar dr BSMI hanya 5000,LIP 3.314 kelebihan lahan waktu pengukuiran oleh BPN
seluas 2.455 total tanah yang dikuasai tanpa izin 17.769 HaLahan warga
diberikan ganti rugi Rp150 ribu/ha itupun warga harus membersihkan lahannya. Dan
dengan sistem Rekognisi atau
penggantian dilakukan hanya pada 50% dari luas lahan. Dan sisanya adalah lahan
negara yang akan diganti rugi langsung kapada negara. Dari keputusan ini warga
sudah malakukan keberatan. Warga meminta penggantian tidak secara rekognisi namun secara keseluruhan dan
warga juga mengajukan harga ganti rugi sebesar 300 ribu untuk lahan Perairan
dan 500ribu untuk lahan daratan.namun tuntutan wargapun tak dihiraukan.
“proses
pembebasan dilakukan secara paksa” Ujar Ajar Etikana. “Saat itu masih rezim
orde baru, jadi siapa yang malawan akan ditangkap”.
Setelah
bertahun-tahun menanti janji perusahaan untuk menyerahkan plasma pun tak juga
terealisasi hingga saat ini. Hingga akhirnya tanah yang dianggap oleh warga milik
plasma mereka. Masyarakatpun mulai mulai menggarap sejak oktober 2011. Memanen
buah nya untuk kehidupan mereka. Itupun dengan diam-diam. Jika ada yang ketahuan
mencuri, polisi yang berjaga tak segan untuk menangkap warga.
Cerita dahulu, tidak
sekarang
Sebelum
PT. BSMI masuk, masyarakat ketiga desa Sritanjung, Kagungan dalam dan nipah
kuning sadahulu hidup dengan sangat makmur. Tanah ulayat yang mereka klaim
milik mereka yang tumbuh lebar dengan tanaman ilalang masyarakat babat habis.
Masyarakat mulai memanen Padi Sonor dan memanfaatkan daun purun yang dianyam
menjadi tikar sebagai mata pencaharian. Begitupula ikan yang benar-benar
melimpah dari aliran sungai Mesuji.
Masyarakat
benar-benar bergelut dengan kekayaan alam yang memang tersedia di daerah
tersebut. Pohon purun yang memang tumbuh subur ditanah rawa benar-benar
dimanfaatkan oleh wanita dari ketiga desa tersebut. Setiap hari sambil menunggu
suami pulang dari ladang dan mencari ikan, para ibu-ibu dan remaja sibuk
menganyam daun purun untuk dijadikan tikar.
Namun,
cerita menganyam tikar itu akan sangat sulit dijumpai lagi saat ini. Bermula
sejak PT. BSMI masuk. Semua tanaman purun dibabat habis, berganti dengan
tanaman sawit milik PT.BSMI. Masyarakat bukan hanya kehilangan ladang padi
sonornya namun kehilangan mata pencaharian lain seperti ikan yang sulit dicari
karena limbah pabrik dan pohon purun yang tak dapat lagi ditemui.
Rusmona
(45) merupakan satu-satunya warga Desa Sritanjung yang hingga sekarang masih
terus membudayakan menganyam tikar daun purun. Saat ini Rusmona meski mencari
pohon purun dari desa tetangga yaitu desa Sodong untuk terus menganyam tikar.
Rusmona
menuturkan, 17 tahun lalu para wanita di desa ini pintar menganyam tikar. Satu buah tikar
selebar 1 x 1,5 dijual seharga Rp 6000,00. Tikar-tikar yang sudah jadi dijual
ke Tulangbawang. “setiap hari ada saja pedagang yang memborong tikar buatan masyarakat
desa sini,”ungkapnya.
“Kami menderita selama
17 tahun”
Hajar Etikana (45) kordinator masyarakat desa
Sritanjung Sejak PT. BSMI masuk, lambat laun kehidupan masyarakat berubah 360
derajat. Mata pencaharian masyarakat langsung terputus. Kehidupan masyarakat
mulai bergantung dengan PT.BSMI sebagai buruh Harian Lepas (HL) yaitu dengan
membersihkan ilalang disekitar tumbuhan sawit dan nebas (buka lahan-red).
Seorang HL yang bekerja sejak pukul 06.30-15.00 Wib hanya dibayar Rp 32.000,00
perhari. Itupun belum dipotong ongkos naik perahu kotok pulang-pergi sebesar Rp
4000-6000 perhari. Alhasil, nominal Rp 28.000,00 hanya diterima ditangan.
Waisah menuturkan, PT.BSMI hanya manis dimulut
diawal saja. Janjinya untuk memperkerjakan masyarakat pribumi hanya cerita
manis. PT.BSMI memang memperkerjakan masyarakat pribumi namun hanya sebagai HL,
bukan karyawan tetap. Karyawan tetap justru banyak diambil dari warga
transmigran. Untuk masalah penggajian buruh HL pun yang naik pertahun Rp
1200,00 sejak 1994. Lebih parah lagi, gaji tidak dibayarkan full perbulan
tetapi selalu digantung selama
duahari oleh PT. BSMI. “awalnya memang bekerja tigapuluh hari, namun makin lama
jumlah hari makin dikurang oleh PT.BSMI. setahun yang lalu kami hanya
dipekerjakan tujuh hari dalam sebulan, itupun dengan upah yang digantung
duahari. Jadi kami hanya menerima upah pembayaran lima hari,” ujar Waisah
dengan bibir gemetar.
Penderitaan
warga kian bertambah. Takkala sejak
Januari 2011, PT. BSMI Benar-benar memberhentikan seluruh aktifitas
buruh HL dari warga asli pribumi. Masyarakat mulai resah. Sulitnya mencari
sesuap nasi didesa yang jauh dari kota ini karena tak mampu lagi bergantung
dengan hasil ikan yang makin sulit dan menganyam tikar pohon purun. Sebagian
masyarakat muali merantau ke desa tetangga. Mencoba mengadu nasib kepabrik
didesa seberang.
Sedang
yang lain terus memcoba mengumpulkan sebutir demi sebutir biji sawit sisa
pemanenan PT.BSMI. banyak pula yang nekad menyodos buah sawit dipohon. “Tuntutan
perut, memaksa kami mengambil buah sawit dilahan plasma yang tidak diperbolehkan
PT. BSMI masuki. Jika ada yang ketahuan, makan kami sering diancam brimob dan
marinir yang memang melakukan penjagaan ketat di seputaran lahan.” Cerita
Waisah.