Profil-Ardi Wilda Irawan

Ingin Nyalakan Lilin diseluruh Daerah 

Bulan-bulan awal berada dikamar asing selalu membuatnya terkejut dikala pagi menyapanya. Rasa tidak percaya bahwa ia berada di daerah baru sempat membuat nyalinya ciut. Namun ia tidak gentar. Ia yakin langkahnya harus dimulai dari sini.

Lelaki muda berkacamata frame hitam, tanpak duduk santai di sebuah kafe di Bandarlampung. Ia sibuk memainkan handphone sambil sesekali mengunyah makanan yang sudah dipesannya. Sekilas tidak ada yang berbeda dari perawakan lelaki kelahiran 1 Mei 1988 ini. Siapa sangka, lelaki ini adalah salah satu volunter Indonesia Mengajar (IM) yang sedang berada di Tulang Bawang Barat.

Ardi Wilda Irawan atau akrab disapa Awe. Lelaki berumur 24 tahun ini tidak pernah menduga takdir menuliskan dirinya menjadi seorang guru. Gelar Sarjana dengan IPK cum loude 3,71 di Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta membawanya berada di daerah terpencil Kecamatan Gunung Agung, Tulang Bawang Barat Lampung. Mencoba mengukir sejarah dalam hidupnya dengan mengabdi di bidang pendidikan. Mengikuti ajang Indonesia Mengajar, dan merintis cita-cita terbesarnya.

Awe sempat merasa dilema ketika gelar sarjana akhirnya ia sandang. Desakan orangtua yang memintanya untuk fokus pada jalur pendidikan yang digeluti makin membuatnya bingung kala itu. Belum lagi tawaran bekerja di dua stasiun Televisi Nasional yang memang sudah menanti didepan mata. Bukan tidak tergiur dengan royalti yang ditawarkan. Namun, harapannya agar bisa berada di semua daerah di Indonesia untuk menebar pendidikan terus menghantui langkahnya.

Saat itu November 2010, Awe tertantang mengikuti Ajang Indonesia Mengajar (IM) karena ajakan teman. Awe mulai mencari tahu tentang IM via website. Melihat program IM yang menarik dan sesuai dengan cita-citanya membuat langkah Awe pasti. Bekal jurnalistik yang memang sudah digelutinya di organisasi kampus membuat Awe melengkapi persyaratan IM dengan mudah. Meskipun tersangkut gelar wisudanya, tak mengurungkan niatnya. Bekalnya kuat, rutinitasnya sebagai fotografer dan sering berada didaerah-daerah membuat ia yakin. Belum lagi standar prestasi yang sudah ia rasih sejak Awe duduk di Sekolah Menengah Pertama.

Langkah Awe hampir terhenti kala itu ketika ayahnya yang berada di Jakarta sakit. Awe harus mengikuti audisi IM di Yogyakarta. Namun, sang ibu memaksa Awe untuk pulang ke Jakarta. Awe sempat pasrah. 
Namun, nasib baik ada padanya. Ia diperbolehkan mengikuti audisi di Jakarta. “Saya senang sekali saat itu, kesempatan baik ternyata milik saya,”ujar Awe.

Awe memang dikatakan beruntung. Dari sekitar empat ribu perserta yang mendaftar hanya 43 orang yang mendapatkan kesempatan tersebut. Orangtua jelas melarang keras ketika Awe menceritakan tentang niatnya. Alasannya hanya satu, aktifitasnya tidak sesuai dengan bidang kuliah yang digelutinya.

Namun, Awe tetep kukuh pada keputusannya saat itu. Iapun mencoba meyakinkan kedua orangtuanya bahwa pasti akan ada hikmah dari semua yang ia lakukan sekarang. Restu pun berhasil diraihnya.

November 2011, Seluruh peserta IM mendapat pelatihan dan training di Ciawi Bogor selama dua bulan untuk dilatih sebagai pengajar karena kebanyakan pengajar bukan dari jurusan Fakultas Keguruan dan Ilmu pendidikan seperti Awe. Dalam masa Karantina Awe banyak belajar bagaimana menjadi guru profesional dan alhasil menjadi Guru memang menarik, ungkapnya.

Pertama kali berada di TBB, Awe menumpang hidup bersama seorang Nenek bernama Satinah serta anak satu-satunya bernama Edi yang masih duduk di kelas 3 Sekolah Menengah Atas. Rumah permanen yang ditempatinya cukup nyaman. Fasilitas listrik dan Televisi Parabola pun ada. Meskipun harus tidur bersama Edi, Awe tidak keberatan. “Rumahnya nyaman dan nenek Satinah sangat baik,” cerita Awe.

Awe memang hoby bersosialisasi dengan masyarakat. Itu membuat ia tidak kesulitan ketika berada di TBB. “Mayoritas masyarakat bersuku Jawa, kebetulan saya orang Jawa. Ternyata dalam bersosialisasi persamaan Suku itu sangat mendukung,”tutur Awe.

Awe bercerita, Sekolah tempatnya mengajarpun bukan sekolah yang buruk. Fasilitas cukup menunjang. Hanya Guru saja yang memang kurang. “Gurunya hanya 8 orang dan yang aktif mengajar hanya lima orang termasuk saya. Yang lainnya, jarang hadir karena Guru honor,” ungkapnya.

Selama di sana ia mengajar kelas 4, 5, 6 Sekolah Dasar dengan mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam dan Bahasa Inggris. “Awal berada di sana, pagi-pagi saya sudah datang. Ternyata guru-gurunya belum pada datang. Ternyata saya sering kepagian. Berbeda sekali sekolah disini dengan sekolah saya dulu di Jakarta,”cerita Awe.

“Meskipun kontrak saya sebagai pengajar kelas 4,5,6 saja, namun kadang dalam satu hari saya bisa mengajar lebih dari tiga kelas, jika guru bidangstudy tidak masuk. Maka saya yang menggantikan,” ungkap Awe.

Selain mengajar aktifitas Awe melakukan pengabdian pada masyarakat, advokasi dan pendampingan dalam bidang pendidikan. Kegiatan ini, membuat Awe sadar bahwa yang sebenarnya dibutuhkan oleh anak-anak bangsa bukan hanya dari segi Fasilitas, namun segi moral hingga motivasi dari guru yang mengajar. “Solusi pemerintah dengan menaikkan gajih Guru dan menambah tunjangan serfikasi justru membuat guru lengah dalam mengajar. Guru malah berlomba mengurus sertikasi tersebut. Alhasil, mengajar jadi tidak maksimal,” ujaranya.

Kini sudah memasuki bulan ke 7 Awe berada di Lampung. Jatah cuti 2 minggu yang bisa ia ambil selama kontrak IM pun belum ia gunakan. Awe terus melakukan Advokasi Pendidikan dan melatih murid-muridnya untuk peka terhadap pendidikan. Berbagai event kerjasama Dinas Pendidkan termasuk Universitas Lampung pun digelar. Mulai dari Harmonika untuk negeri sampai Olimpiade Sains. Ardi sempat merasa Jenuh, namun semangatnya kembali berkobar ketika melihat anak-anak didiknya tertawa dan bersemangat. Anak-anak menjadi inspirasi Awe. Jika melihat mereka seperti kurang hiburan. “Guru didaerah menempatkan diri sebagai guru yang harus dihormati. Bukan guru yang menjadi teman. Sehingga apa yang ingin anak-anak lakukan menjadi terbatas ruang geraknya,” ujar Awe.

Terinspirasi  buku

Awe dilahirkan dari keluarga yang sangat sederhana. Anak bungsu dari tiga bersaudara ini memang sudah berprestasi sejak ia duduk di Sekolah Menengah Pertama dan menjadi  Rohani Islam (Rohis) di SLTP N 139 Jakarta Timur, Kemudian Menjadi Pengurus Osis di Sekolah Menengah Umum (SMU) N 12 Jakarta Timur. Lebih Membanggakan lagi, Awe menjadi lulusan terbaik kedua ketika SMA.

Ketika kuliah ia diterima sebagai Mahasiswa Ilmu Komunikasi tahun 2006. Hoby membidiknya ia asah ketika ia menjadi Reporter Surat Kabar Mahasiswa (SKM) Bulaksumur Pos UGM. Sepak terjangnya dalam berorganisasi pun menetapkan ia sebagai Kordinator Divisi Film dan fotografi Korps Mahasiswa Komunikasi (KOMAKO) UGM, Kepala Divisi pemutaran dan Apresiasi Film KiNE Club Komunikasi UGM, Redaktur Pelaksana SKM Bulaksumur Pos UGM dan terakhir menjabat sebagai ketua Publisia Photo Club (PPC) komunikasi UGM.

Dari segi Prestasi di Bidang Fotografi tidak perlu diragukan lagi. Juara 1 Lomba Foto “Fisipol Photo Competition” diadakan oleh Fakultas FISIPOL UGM, Juara 1 Lomba dan Pameran Foto “Etnofotografi (Mengaburnya Batas Non Privat)” diadakan oleh Jurusan Antropologi UGM , Juara 1 Lomba dan Pameran Foto “Natiology 2” diadakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Teknik UGM, Juara 1 Lomba Foto Bertema Sosial diadakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) MIPA UGM, Juara 1 Lomba Foto Essay Bertema Lingkungan diadakan oleh Rektorat UGM, Juara 1 Lomba Foto Essay Bertema “East Meet West” dalam Pekan Komunikasi Universitas Indonesia (UI) 2010, Juara 1 Lomba Foto Essay Jurnalistik bertema “Potret Anak” diadakan oleh Bulaksumur Pos (Pers Mahasiswa UGM), Juara 1 Lomba Foto “Photography Competition (Photion)” diadakan oleh Departemen Pers Mahasiswa Teknik Industri UGM dan masih banyak lagi Prestasi yang berhasil diraihnya .
Lelaki yang memiliki hoby Membaca, Travelling, Menonton, Menulis, Fotografi, dan Mendengarkan Musik ini pun sudah berhasil menyabet beberapa penghargaan mulai dari Piala Citra 2008 kategori Film Pendek Terbaik lewat film “Cheng Cheng Po” (Bertindak sebagai Asisten Penata Artistik), Film Favorit Juri Komunal Festival Film Dokumenter (FFD) Indonesia 2010 lewat Film “Maaf, Bioskop Tutup” (Bertindak sebagai Sutradara), Juara 1 Kompetisi Video Art dalam Kompetisi Video Kompas Muda lewat Video “Kotak Ajaib” (Bertindak sebagai Sutradara dan Penulis Script), Juara 2 Piala Rektor UGM lewat film dokumenter “Intan di Permata” dalam Kompetisi Film Bertema “Realitas Islam di Jogja” (Bertindak sebagai DOP dan Asisten Sutradara), Juara 2 Kompetisi Film Pendek Youthphoria Universitas Parahyangan Bandung lewat film dokumenter “Intan di Permata” (Bertindak sebagai DOP dan Asisten Sutradara) , Juara 2 Festival Film “Islamic Movie Days” diadakan oleh Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia lewat film “Sakti” (Bertindak Sebagai Sutradara), Feature televisi terbaik lewat “Shaggydog di Sayidan, di Jalanan” dalam Jurnalisme Penyiaran Komunikasi UGM (Bertindak sebagai Sutradara) dan Best Music dan Nominasi Lima Film Terbaik lewat film “Sunatan Massal” dalam Festival Film Psychocinemafest yang diadakan oleh Fakultas Psikologi Atmajaya Jakarta (Bertindak sebagai Penulis Naskah dan DOP).
Ketika Awe baru memasuki semester 6, Orangtua Awe merasa tidak mampu membiayai kuliah dan hidup Awe di Yogyakarta. Demi mempertahankan Kuliahnya Awe memutuskan untuk bekerja sebagai Awak Magang Harian Seputar Indonesia (Juni-Agustus 2008) dalam Tim Peliputan Bagian Hiburan. Baru dua bulan bekerja disana Awe mendapat tawaran bekerja sebagai Kontributor Majalah Word of Magazine (Womagz) - Majalah Online Lifestyle Jogja. Awe terus mencari jati diri tempat kerja kala itu, kemudian ia menjadi Kontributor Majalah Rolling Stone Indonesia wilayah Jogjakarta, sempat pula menjadi Kontributor situs buku, musik, politik dan humaniora, dan Fotografer untuk buku kuliner Daerah Banten 2010 terbitan Pusat Kajian Makanan Tradisional (PKMT) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Tahun terakhir ketika Awe hampir lulus dari studynya ia menjadi Fotografer untuk Program Corporate Social Responsibility (CSR) bertema Srikandi Award untuk Perusahaan Sari Husada.
Segudang prestasi yang dimilkinya tidak menjadikan Awe bangga. Justru ketika lulus kuliah ia merasa di usia yang ke 23 tahun Awe belum melakukan apapun untuk hidupnya. Kerena itu, Awe selalu ingin mencoba dan menantang hidupnya lewat Indonesia Mengajar.

“Orangtua selalu mendukung apapun yang saya lakukan, selagi hal itu positif tidak jadi masalah,” Ujarnya.
“Saya ingin menulis buku tentang pendidikan didaerah terpencil seperti model buku Meraba Indonesia. Buku itu sangat menginspirasi hidup saya saat ini,” ujar lelaki penyuka musik ini.

Awe juga menuturkan cita-cita terbesar dalam hidupnya adalah keliling dunia, membuat karya tulisan Etnografi tentang pendidikan di Indonesia dan Membuat taman Kanak-kanak. “Saya ingin Nyalakan lilin untuk anak-anak bangsa, diseluruh pelosok Negeri,”harapnya sambil tersenyum.*

Leave A Comment