Posted on Selasa, 19 Februari 2013 · Leave a Comment
Bulan-bulan awal berada
dikamar asing selalu membuatnya terkejut dikala pagi menyapanya. Rasa tidak
percaya bahwa ia berada di daerah baru sempat membuat nyalinya ciut. Namun ia tidak gentar. Ia yakin
langkahnya harus dimulai dari sini.
Lelaki muda berkacamata frame hitam, tanpak duduk santai di sebuah kafe di Bandarlampung. Ia sibuk memainkan handphone sambil sesekali mengunyah makanan yang sudah dipesannya. Sekilas tidak ada yang berbeda dari perawakan lelaki kelahiran 1 Mei 1988 ini. Siapa sangka, lelaki ini adalah salah satu volunter Indonesia Mengajar (IM) yang sedang berada di Tulang Bawang Barat.
Lelaki muda berkacamata frame hitam, tanpak duduk santai di sebuah kafe di Bandarlampung. Ia sibuk memainkan handphone sambil sesekali mengunyah makanan yang sudah dipesannya. Sekilas tidak ada yang berbeda dari perawakan lelaki kelahiran 1 Mei 1988 ini. Siapa sangka, lelaki ini adalah salah satu volunter Indonesia Mengajar (IM) yang sedang berada di Tulang Bawang Barat.
Ardi Wilda Irawan atau akrab disapa Awe. Lelaki
berumur 24 tahun ini tidak pernah menduga takdir menuliskan dirinya menjadi
seorang guru. Gelar Sarjana dengan IPK cum
loude 3,71 di Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Gajah Mada (UGM)
Yogyakarta membawanya berada di daerah terpencil Kecamatan Gunung Agung, Tulang
Bawang Barat Lampung. Mencoba mengukir sejarah dalam hidupnya dengan mengabdi
di bidang pendidikan. Mengikuti ajang Indonesia Mengajar, dan merintis
cita-cita terbesarnya.
Awe sempat merasa dilema ketika gelar sarjana
akhirnya ia sandang. Desakan orangtua yang memintanya untuk fokus pada jalur
pendidikan yang digeluti makin membuatnya bingung kala itu. Belum lagi tawaran
bekerja di dua stasiun Televisi Nasional yang memang sudah menanti didepan
mata. Bukan tidak tergiur dengan royalti yang ditawarkan. Namun, harapannya agar
bisa berada di semua daerah di Indonesia untuk menebar pendidikan terus
menghantui langkahnya.
Saat itu November 2010, Awe tertantang mengikuti
Ajang Indonesia Mengajar (IM) karena ajakan teman. Awe mulai mencari tahu
tentang IM via website. Melihat program
IM yang menarik dan sesuai dengan cita-citanya membuat langkah Awe pasti. Bekal
jurnalistik yang memang sudah digelutinya di organisasi kampus membuat Awe
melengkapi persyaratan IM dengan mudah. Meskipun tersangkut gelar wisudanya,
tak mengurungkan niatnya. Bekalnya kuat, rutinitasnya sebagai fotografer dan
sering berada didaerah-daerah membuat ia yakin. Belum lagi standar prestasi
yang sudah ia rasih sejak Awe duduk di Sekolah Menengah Pertama.
Langkah Awe hampir terhenti kala itu ketika ayahnya
yang berada di Jakarta sakit. Awe harus mengikuti audisi IM di Yogyakarta.
Namun, sang ibu memaksa Awe untuk pulang ke Jakarta. Awe sempat pasrah.
Namun,
nasib baik ada padanya. Ia diperbolehkan mengikuti audisi di Jakarta. “Saya
senang sekali saat itu, kesempatan baik ternyata milik saya,”ujar Awe.
Awe memang dikatakan beruntung. Dari sekitar
empat ribu perserta yang mendaftar hanya 43 orang yang mendapatkan kesempatan
tersebut. Orangtua jelas melarang keras ketika Awe menceritakan tentang
niatnya. Alasannya hanya satu, aktifitasnya tidak sesuai dengan bidang kuliah
yang digelutinya.
Namun, Awe tetep kukuh pada keputusannya saat
itu. Iapun mencoba meyakinkan kedua orangtuanya bahwa pasti akan ada hikmah
dari semua yang ia lakukan sekarang. Restu pun berhasil diraihnya.
November 2011, Seluruh peserta IM mendapat
pelatihan dan training di Ciawi Bogor selama dua bulan untuk dilatih sebagai
pengajar karena kebanyakan pengajar bukan dari jurusan Fakultas Keguruan dan
Ilmu pendidikan seperti Awe. Dalam masa Karantina Awe banyak belajar bagaimana
menjadi guru profesional dan alhasil menjadi Guru memang menarik, ungkapnya.
Pertama kali berada di TBB, Awe menumpang hidup
bersama seorang Nenek bernama Satinah serta anak satu-satunya bernama Edi yang
masih duduk di kelas 3 Sekolah Menengah Atas. Rumah permanen yang ditempatinya
cukup nyaman. Fasilitas listrik dan Televisi Parabola pun ada. Meskipun harus
tidur bersama Edi, Awe tidak keberatan. “Rumahnya nyaman dan nenek Satinah
sangat baik,” cerita Awe.
Awe memang hoby bersosialisasi dengan masyarakat.
Itu membuat ia tidak kesulitan ketika berada di TBB. “Mayoritas masyarakat
bersuku Jawa, kebetulan saya orang Jawa. Ternyata dalam bersosialisasi
persamaan Suku itu sangat mendukung,”tutur Awe.
Awe bercerita, Sekolah tempatnya mengajarpun
bukan sekolah yang buruk. Fasilitas cukup menunjang. Hanya Guru saja yang
memang kurang. “Gurunya hanya 8 orang dan yang aktif mengajar hanya lima orang
termasuk saya. Yang lainnya, jarang hadir karena Guru honor,” ungkapnya.
Selama di sana ia mengajar kelas 4, 5, 6 Sekolah
Dasar dengan mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam dan Bahasa Inggris. “Awal
berada di sana, pagi-pagi saya sudah datang. Ternyata guru-gurunya belum pada
datang. Ternyata saya sering kepagian. Berbeda sekali sekolah disini dengan
sekolah saya dulu di Jakarta,”cerita Awe.
“Meskipun kontrak saya sebagai pengajar kelas
4,5,6 saja, namun kadang dalam satu hari saya bisa mengajar lebih dari tiga
kelas, jika guru bidangstudy tidak masuk. Maka saya yang menggantikan,” ungkap
Awe.
Selain mengajar aktifitas Awe melakukan pengabdian
pada masyarakat, advokasi dan pendampingan dalam bidang pendidikan. Kegiatan
ini, membuat Awe sadar bahwa yang sebenarnya dibutuhkan oleh anak-anak bangsa
bukan hanya dari segi Fasilitas, namun segi moral hingga motivasi dari guru
yang mengajar. “Solusi pemerintah dengan menaikkan gajih Guru dan menambah
tunjangan serfikasi justru membuat guru lengah dalam mengajar. Guru malah
berlomba mengurus sertikasi tersebut. Alhasil, mengajar jadi tidak maksimal,” ujaranya.
Kini sudah memasuki bulan ke 7 Awe berada di
Lampung. Jatah cuti 2 minggu yang bisa ia ambil selama kontrak IM pun belum ia
gunakan. Awe terus melakukan Advokasi Pendidikan dan melatih murid-muridnya
untuk peka terhadap pendidikan. Berbagai event kerjasama Dinas Pendidkan
termasuk Universitas Lampung pun digelar. Mulai dari Harmonika untuk negeri
sampai Olimpiade Sains. Ardi sempat merasa Jenuh, namun semangatnya kembali
berkobar ketika melihat anak-anak didiknya tertawa dan bersemangat. Anak-anak
menjadi inspirasi Awe. Jika melihat mereka seperti kurang hiburan. “Guru didaerah
menempatkan diri sebagai guru yang harus dihormati. Bukan guru yang menjadi
teman. Sehingga apa yang ingin anak-anak lakukan menjadi terbatas ruang
geraknya,” ujar Awe.
Terinspirasi buku
Awe dilahirkan dari
keluarga yang sangat sederhana. Anak bungsu dari tiga bersaudara ini memang
sudah berprestasi sejak ia duduk di Sekolah Menengah Pertama dan menjadi Rohani Islam (Rohis) di SLTP N 139 Jakarta
Timur, Kemudian Menjadi Pengurus Osis di Sekolah Menengah Umum (SMU) N 12
Jakarta Timur. Lebih Membanggakan lagi, Awe menjadi lulusan terbaik kedua
ketika SMA.
Ketika kuliah ia diterima sebagai Mahasiswa Ilmu Komunikasi tahun
2006. Hoby membidiknya ia asah ketika ia menjadi Reporter Surat Kabar Mahasiswa
(SKM) Bulaksumur Pos UGM. Sepak terjangnya dalam berorganisasi pun menetapkan
ia sebagai Kordinator Divisi Film dan fotografi Korps Mahasiswa Komunikasi
(KOMAKO) UGM, Kepala Divisi pemutaran dan Apresiasi Film KiNE Club Komunikasi
UGM, Redaktur Pelaksana SKM Bulaksumur Pos UGM dan terakhir menjabat sebagai
ketua Publisia Photo Club (PPC) komunikasi UGM.
Dari segi Prestasi di Bidang Fotografi tidak perlu diragukan lagi.
Juara 1 Lomba Foto “Fisipol Photo Competition” diadakan oleh Fakultas FISIPOL
UGM, Juara 1 Lomba dan Pameran Foto “Etnofotografi (Mengaburnya Batas Non
Privat)” diadakan oleh Jurusan Antropologi UGM , Juara 1 Lomba dan Pameran Foto
“Natiology 2” diadakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Teknik
UGM, Juara 1 Lomba Foto Bertema Sosial diadakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa
(BEM) MIPA UGM, Juara 1 Lomba Foto Essay Bertema Lingkungan diadakan oleh
Rektorat UGM, Juara 1 Lomba Foto Essay Bertema “East Meet West” dalam Pekan
Komunikasi Universitas Indonesia (UI) 2010, Juara 1 Lomba Foto Essay
Jurnalistik bertema “Potret Anak” diadakan oleh Bulaksumur Pos (Pers Mahasiswa
UGM), Juara 1 Lomba Foto “Photography Competition (Photion)” diadakan oleh
Departemen Pers Mahasiswa Teknik Industri UGM dan masih banyak lagi Prestasi
yang berhasil diraihnya .
Lelaki yang memiliki hoby Membaca,
Travelling, Menonton,
Menulis, Fotografi, dan Mendengarkan Musik ini pun
sudah berhasil menyabet beberapa penghargaan mulai dari Piala Citra 2008
kategori Film Pendek Terbaik lewat film “Cheng Cheng Po” (Bertindak sebagai
Asisten Penata Artistik), Film Favorit Juri Komunal Festival Film Dokumenter
(FFD) Indonesia 2010 lewat Film “Maaf, Bioskop Tutup” (Bertindak sebagai
Sutradara), Juara 1 Kompetisi Video Art dalam Kompetisi Video Kompas Muda lewat
Video “Kotak Ajaib” (Bertindak sebagai Sutradara dan Penulis Script), Juara 2
Piala Rektor UGM lewat film dokumenter “Intan di Permata” dalam Kompetisi Film
Bertema “Realitas Islam di Jogja” (Bertindak sebagai DOP dan Asisten
Sutradara), Juara 2 Kompetisi Film Pendek Youthphoria Universitas Parahyangan
Bandung lewat film dokumenter “Intan di Permata” (Bertindak sebagai DOP dan
Asisten Sutradara) , Juara 2 Festival Film “Islamic Movie Days” diadakan oleh
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia lewat film “Sakti” (Bertindak Sebagai
Sutradara), Feature televisi terbaik lewat “Shaggydog di Sayidan, di Jalanan”
dalam Jurnalisme Penyiaran Komunikasi UGM (Bertindak sebagai Sutradara) dan
Best Music dan Nominasi Lima Film Terbaik lewat film “Sunatan Massal” dalam
Festival Film Psychocinemafest yang diadakan oleh Fakultas Psikologi Atmajaya
Jakarta (Bertindak sebagai Penulis Naskah dan DOP).
Ketika
Awe baru memasuki semester 6, Orangtua Awe merasa tidak mampu membiayai kuliah
dan hidup Awe di Yogyakarta. Demi mempertahankan Kuliahnya Awe memutuskan untuk
bekerja sebagai Awak
Magang Harian Seputar Indonesia (Juni-Agustus 2008) dalam Tim Peliputan Bagian
Hiburan. Baru dua bulan bekerja disana Awe mendapat tawaran bekerja sebagai
Kontributor Majalah Word of Magazine (Womagz) - Majalah Online Lifestyle Jogja.
Awe terus mencari jati diri tempat kerja kala itu, kemudian ia menjadi
Kontributor Majalah Rolling Stone Indonesia wilayah Jogjakarta, sempat pula
menjadi Kontributor situs buku, musik, politik dan humaniora, dan Fotografer
untuk buku kuliner Daerah Banten 2010 terbitan Pusat Kajian Makanan Tradisional
(PKMT) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta. Tahun terakhir ketika Awe
hampir lulus dari studynya ia menjadi Fotografer untuk Program Corporate Social Responsibility (CSR)
bertema Srikandi Award untuk Perusahaan Sari Husada.
Segudang prestasi yang
dimilkinya tidak menjadikan Awe bangga. Justru ketika lulus kuliah ia merasa di
usia yang ke 23 tahun Awe belum melakukan apapun untuk hidupnya. Kerena itu,
Awe selalu ingin mencoba dan menantang hidupnya lewat Indonesia Mengajar.
“Orangtua selalu mendukung apapun yang saya
lakukan, selagi hal itu positif tidak jadi masalah,” Ujarnya.
“Saya ingin menulis buku tentang pendidikan
didaerah terpencil seperti model buku Meraba Indonesia. Buku itu sangat menginspirasi
hidup saya saat ini,” ujar lelaki penyuka musik ini.
Awe juga menuturkan cita-cita terbesar dalam
hidupnya adalah keliling dunia, membuat karya tulisan Etnografi tentang
pendidikan di Indonesia dan Membuat taman Kanak-kanak. “Saya ingin Nyalakan
lilin untuk anak-anak bangsa, diseluruh pelosok Negeri,”harapnya sambil
tersenyum.*