Posted on Jumat, 06 Desember 2013 · Leave a Comment
Pulau Pisang |
Dari kejauhan perahu biru milik seorang nelayan berbadan gemuk mulai menepi. Susah payah lelaki tengah baya dengan topi usang berwarna putih itu mengayuh dayung. Melawan besarnya deburan ombak selat Pulau Pisang setinggi tiga meter. Dari seberang pelabuhan Pekon Pasar, empat orang nelayan lain yang menunggu di pelabuhan mulai mendekat kebibir pantai. Menanti kedatangan jukung lelaki itu. Setelah hampir menepi, nelayan tersebut membantu menepikan jukung dengan mengangkatnya ke pinggiran pantai.
Pagi itu, nasib tidak berpihak pada Lukman Hakim (50). Setelah hampir 10 jam di tengah Samudera Hindia, mengail senar, mengulurkan mata pancing di kedalaman Samudera ikan besar tidak juga menyambar umpan ikan kecil yang dipasangnya. Ikan Marlin atau sering disebut masyarakat ini sebagai Iwa Tukhu memang menjadi incaran besar para nelayan. Mata kail Lukman hanya disambar ikan tenggiri kecil berukuran tigapuluh sentimeter, jumlahnya tak lebih dari sepuluh ekor.
Lukman begitu kecewa, begitu pula nelayan yang membantu menarik Jukung Lukman. Mereka berharap mendapat bagian seekor ikan hasil pancingan Lukman pagi itu. Tradisi nelayan masyarakat Pulau Pisang memang selalu membagi ikan kepada nelayan lain yang membantu menarik jukung. Namun, karena Lukman tidak mendapat hasil nelayan yang banyak maka dengan berbesar hati mereka menerima.
“Mak dapok ngebagi yu, mansa ne cutik (tidak bisa membagi ya, dapatnya sedikit),” ujar Lukman dengan Bahasa Lampung Pesisir yang memang menjadi bahasa sehari-hari masyarakat di Pulau ini.
Hasil tangkapan Lukman dua ekor dibawa pulang, sisa hasil nelayannya ditimbang kepada penampung. Beratnya tak lebih dari lima kilogram. Hasil nelayannya hanya dibayar limabelas ribu perkilogram. Uang hasil menjual ikan tangkapannya itulah dibawa pulang untuk menghidupi anak dan istrinya.
Berbeda dengan Lukman, Keberuntungan sedang berpihak pada nelayan lain bernama Suntori (40). Suntori berhasil memancing Iwa Tukhu berukuran besar. Beratnya mencapai 45 kilogram. Suntori membawa ikan besar bersayap ungu itu kepenampung. Menjual satu-satu nya ikan yang didapatnya dari tengah Samudera Hindia seharga duapuluh tiga ribu rupiah perkilogram.
Kehidupan masyarakat Pekon Pasar berbeda dengan aktifitas masyarakat Pekon Sukadana Pulau Pisang. Jika hampir 99 persen Masyarakat Pekon Pasar bermatapencaharian sebagai nelayan. Masyarakat Pekon Sukadana hampir keseluruhan adalah petani cengkeh, Petani Kopra, Penenun Kain Tapis dan Benang Emas.
Seperti halnya Nurwasih (55), Perempuan beranak lima ini mulai berbenah siang itu. Dengan modal kantung kresek kecil, ia dan anak bungsunya Zubaidah (15) menuju kebun cengkeh miliknya di atas bukit. Memungut seputik-demi seputik buah cengkeh yang memang sudah jatuh ketanah. Nurwasih memang sengaja tidak memetik buah cengkehnya dari atas pohon, karena memang buah cengkehnya belum siap panen.
Setelah hampir dua jam berlalu, tidak banyak hasil yang didapatnya siang itu, hanya secanting cengkeh basah yang jika dijual seharga lima ribu rupiah. Agar hasilnya banyak Nurwasih tidak menjual cengkehnya. Ia, akan mengumpulkan dulu butir cengkehnya kemudian menjemur cengkehnya hingga kering selama empat hari. Jika sudah kering baru dijual seharga seratus ribu perkilogram.
Berbeda dengan Masyarakat lainnya, Puti (50) tengah sibuk membelah buah kelapa. Membuang air didalamnya kemudian menjemur kelapa tersebut sampai menjadi kopra. Puti merupakan salah satu dari sekitar duapuluh persen masyarakat pulau pisang yang bekerja sebagai petani kopra. Buah kelapa yang diambil dari hasil kebunnya ini kemudian di jemur selama lebih kurang empat hari dan dijual seharga 28 ribu rupiah perkilogram.
Ibu empat anak ini sebelum bertani kopra, dahulunya merupakan petani cengkeh yang memang banyak berada di kawasan ini. Selain bertani cengkeh Puti acap kali menerima upahan menyulam tapis. “Dahulunya menyulam tapis, tapi sekarang sudah berhenti.
"Mata sudah tidak melihat lagi,”kenang Puti. “Senang rasanya hidup dipulau ini meskipun sekarang mulai sepi, tapi rasa kekeluargaannya masih melekat erat,” ujar Puti.
Peratin Pekon Sukadana Rizal (50) mengatakan, kehidupan masyarakat pulau pisang sangat tentram. Hal tersebut yang membuat ia memutuskan untuk tetap tinggal dipulau pisang. “Meskipun saat ini warga banyak yang merantau, namun saya tetap menunggu pulau ini mungkin samapi akhir hayat saya,”tutur Rizal.
Rizal juga mengatakan, ,masyarakat pulau pisang hanya
membutuhka pelabuhan dan transportasi darat.
“Kami pernah meminta pemerintah membangun jembatan yang dapat menghubungkan pulau pisang dengan desa Tembakak," ujarnya.
“Kami pernah meminta pemerintah membangun jembatan yang dapat menghubungkan pulau pisang dengan desa Tembakak," ujarnya.
Rizal mengungkapkan Pulau Pisang bukan daerah tertinggal, tapi daerah yang ditinggalkan. Masyarakat hidup maju disini namun sulit jika sedang angin barat karena tidak bias keluar dari pulau. “Masyarakat Pulau Pisang banyak yang berhasil seperti Dekan Fakultas Ekonomi Unila, ia berasal dari pulau pisang, dan masih banyak pejabat lain yang ada di Lampung,” ujarnya.
Sejarah, Menguatkan keberadaannya
Pulau Pisang merupakan pulau yang berada di tengah-tengah Samudera Hindia dan masuk dalam Kecamatan Pesisir Utara Kabupaten Lampung Barat. Untuk menuju pulau ini, diperlukan waktu sekitar satu jam dari penyebrangan Pelabuhan Koala dikota Krui Lampung Barat. Jukung yang digunakan sebagai transportasi penyebranganpun hanya berlayar diwaktu tertentu saja. Namun, jika ingin cepat masyarakat biasanya menggunakan jalur penyebrangan dari desa Tembakak. Jarak dari desa Tembakak menuju Pulau Pisang hanya lima belas menit menggunakan jukung bermesin.
Pulau Pisang merupakan pulau yang memiliki sejarah peradaban yang kuat. Adat istiadat Marga Way Sindi Olok Pandan sangat kental terasa. Rumah-rumah tinggi berdinding kayu yang lazim disebut lamban balak menjadi pemandangan paling menarik ketika berada di pulau pisang. Meskipun keadaannya mulai rapuh karena banyak yang tidak bepenghuni sebab ditinggal sang pemilik ketika tahun 1980 akibat matinya cengkeh-cengkeh milik mereka, menjadi saksi bisu bagaimana masyarakat di Pulau ini menganut Marga Lampung yang kental.
Masyarakat Way Sindi yang tinggal di Olok Pandan berjarak sekitar enam kilometer dari Desa Tembakak atau tujuh kilometer dari kota Krui. Hj. Zafrullah Khan Gelar Suntan Simbangan Ratu mengisahkan asal kata Way Sindi berarti pinggir air. Bermula ketika abad ke-17 masyarakat Way Sindi semakin banyak dan menuntut perluasan daerah. Akhirnya Saibatin atau pemuka adat Way Sindi Pangeran Simbangan Ratu mengutus seorang warga asal Biha yang biasa disebut Bathor atau pesuruh untuk melihat keadaan Pulau yang ada diseberang Desa Way Sindi layak tidak jika di tempati oleh masyarakat Way Sindi.
Atas titah Saibatin tersebut berangkatlah Bathor menuju pulau dengan menggunakan batang pisang yang memang banyak terdapat didaerah itu. Setelah sampai dipulau dan bermalam beberapa hari kembali lah Bathor menuju Way Sindi untuk melapor kepada Saibatin Bahwa Pulau tersebut bisa ditempati masyarakat.
Kemudian anak kedua Pangeran Sangun Ratu atas titah
sang ayah Mail Gelar Raja Pesirah gelar Pangeran Sangun Ratu mengajak seluruh
Masyarakat Way Sindi untuk berlayar menuju pulau dan mencari penghidupan
dipulau tersebut. Pada saat itu masyarakat hanya menempati gubuk besar yang
lazim disebut Sapu Balak. Masyarakat mulai bercocok tanam cengkeh dan kopra
sedangkan makan hanya dapat memakan buah pisang hutan yang memang banyak tumbuh
dipulau tersebut. Mulailah warga menyebut daerah tersebut dengan sebutan Pulau
Pisang.
Pada abad ke-18 masyarakat membentuk sebuah Pekon pertama yaitu pekon Lok, kemudian menyusul kelima pekon lainnya yaitu Labuhan, Bandar Dalam, Sukadana, Sukamarga dan Pekon Pasar. Pada tahun17 September 1922 akhirnya pemuka adat memutuskan bahwa Marga Way Sindi merupakan Marga resmi masyarakat kelima Pekon Pulau Pisang dengan sebutan Way Sindi Olok Pandan kecuali Pekon Pasar yang memang bukan berasal dari keturunan Way Sindi.
Pada Tahun 1933, berlangsunglah pertemuan besar pemuka adat Way Sindi Olok Pandan yang menetapkan Muhammad Fadel Gelar Raja Kapitan menjadi Saibatin pertama marga Way Sindi Olok Pandan di Pulau Pisang.
Saat itu masyarakat Way Sindi Olok Pandan hidup makmur, cengkeh dan hasil kopra yang melimpah membuat masyarakat pulau pisang pada tahun 1968 menjadi daerah dengan pendapatan perkapita paling tinggi di Lampung. Namu sayang, ketika sedang jaya-jayanya. Seluruh tanaman cengkeh tiba-tiba mati kerena daun-daunnya terkena penyakit. “saat itu perekonomian sulit sekali, akhirnya banyak warga yang memutuskan untuk merantau,”kenang lelaki tiga anak ini.
“Muhammad Fadel gelar Kapitan itu adalah ayah saya, saat ini saya menjadi Saibatin Marga Way Sindi Olok Pandan,”ujar lelaki 72 tahun ini ketika ditemui di kediamannya di daerah Palapa Bandarlampung, Senin (29/05).
“Meskipun saya sudah tidak tinggal di Pulau Pisang, namun estetika sejarah tempat lahir saya masih melekat dihati. Peradaban marga kami justru yang membuat kami mempertahankan kampung halaman kami disana dengan menanam cengkeh kembali,”ujarnya.
Sore itu, saat matahari belum seterbenam, anak-anak kecil berumur lima sampai sepuluh tahun tengah asik berlari-lari dipinggiran pantai
berbuih dan berpasir putih bersih. Bermain-main bersama deburan ombak sambil
melompat-lompat kegirangan menghalau hempasan ombak. Tidak jauh dari situ, para
nelayan masyarakat Pekon Pasar mulai berdatangan menuju pelabuhan. Membawa
hasil laut setelah berjam-jam berlayar ditengah samudera.
Selain pantainya yang indah,
serta aktifitas nelayan yang menarik. Sulam Tapis dan benang emas menjadi
identitas tersendiri masyarakat pulau pisang. Kain Tapis mulai resmi digunakan
oleh masyarakat pualu pisang sejak abad-19. Sejak itu kain tapis menjadi kain
resmi yang harus digunakan masyarakat pulau pisang dalam berbagai prosesi adat
lampung. Prosesi ighau pada tahun
1835 menjadi prosesi adat resmi yang mengukuhkan tapis sebagai ciri khas
masyarakat pulau pisang.
Senja itu Riswen (40) Wanita berambut pendek dengan gaya sedikit tomboy mulai mengisi waktu senja hari dengan menenun Tapis. Kali ini Riswen sedang mengerjakan upah menenun kain tapis motif Latap. Motif ini merupakan jenis kain tapis dengan tenunan penuh. Sudah dua bulan Riswen mengerjakan sulaman tapis milik tetangganya ini.
Ditengah-tengah waktu senggangnya, Riswen selalu menyempatkan memasang Remidang yang terbuat dari kayu dan bambu untuk merenggang kain agar dapat diikat kencang, menjahit kain perca pada bahan dasar tapis Sanguwos dan merekatkannya di ujung-ujung bambu menggunakan tali plastik agar kuat. Setelah kain kencang Riswen mulai membentuk pola sesak mutagh dengan pensil agar mudah di tenun.
Setelah pola jadi, Riswen
mulai menenun. Merangkai benang emas dan benang jahit hingga mmembentuk pola
yang indah. “Butuh waktu sekitar duabulan yang paling cepat untuk pengerjaan
tapis motif Latap. Upah menenunnya
saja satu juta limaratus, itu diluar bahan-bahan,” ujar wanita bermata sipit
ini.
Riswen mengaku sudah sejak
kecil fasih menenun tapis. Ketika duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama ia
mulai menerima upahan menenun tapis. “Dahulu upahnya hanya tigaratus ribu,
sekarang minimal satu juta,”ungkap wanita beranak empat ini.
Begitupula dengan Suharjo (31) lelaki berbadan kurus ini selain menjadi guru honor di SD Pulau Pisang juga tengah sibuk mengerjakan upahan menenun kain tapis. Dibawah temaramnya lampu listrik yang mengalir dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya yang memang hanya ada di pulau ini, jari-jemarinya tetap gapah menjahit benang emas. Suharjo memang terkenal rapih dalam menenun kain tapis. Meskipun laki-laki ia paling sering mendapat upahan menenun dari kota.
Suharjo sudah tertarik menenun sejak ia masih berumur sembilan tahun. Ia sangat senang melihat kakak wanitanya menenun kain tapis. Ketika itu ia mulai memperhatikan kakaknya menenun dan mulai mencoba menenun. Saat ini ia mulai fasih mengerjakan berbagai macam bentuk tenunan tapis, dari mulai motif tusuk pinggir, rumpun bambu hingga motif tumpal penuh yang biasa digunakan oleh pengantin adat lampung.
“Saya kuliah biayanya dari
menyulam tapis, hingga sekarang lulus Diploma 3 Jurusan Bahasa Inggris,”ujar
Suharjo.
“Saya tidak pernah merasa malu menyulam tapis, meskipun laki-laki selagi halal dan bisa menghasilkan uang kenapa tidak,”ujar lelaki yang memiliki seorang istri dan anak yang baru berumur tiga tahun ini.
Selain tapis, yang menjadi ciri khas dari masyarakat pulau pisang adalah Sulam Benang Emas. Hampir seluruh masyarakat pulau pisang mahir menyulam Benang Emas, menjahit kain Beludru dengan Sulaman Benang Emas menjadi kelambu, Khangok atau tutup pintu dan macam-macam hiasan singgasana pengantin.
Seperti yang sedang dikerjakan Sriyani (29). Wanita ini tengah sibuk menyulam kain Beludru sebagai khangok pesanan seorang warga. Sriyani sudah pandai menyulam sejak ia masih sekolah dasar.
“Biasanya diupah pergulungan
benang, setiap gulung benang yang habis dibayar sembilan ribu rupiah,”ujarnya.
Proses pengerjaannya hampir sama dengan tapis yang membedakan hanyalah jenis benang emas yang digunakan. Biasanya benang emas yang digunakan untuk menenun benang emas lebih tebal. “Polanya beragam, dari pola daun, batang, bunga hingga binatang,”ujar wanita cantik ini.
“Untuk tutup pintu saja,
saya mengerjakan sekitar lima belas hari dan diupah seharga tigaratus ribu
rupiah,” ungkapnya dengan bahasa lampung pesisir.
“Kain Tapis dan sulam benang emas menjadi identitas resmi masyarakat pulau pisang, kami memiliki motif dan model jahitan tertentu yang menjadi ciri khas kuat masyarakat pulau,”ujar Sriyani.
...............
Masyarakat Pulau Pisang kini mulai menikmati kembali kejayaan dari hasil bumi berupa cengkeh dan kopra. Musim panen yang akan tiba dua bulan lagi, menjadi harapan besar masyarakat pulau ini untuk merubah nasibnya. Pesona pulau pisang pun mulai dilirik oleh wisatawan mancanegara. Pantai yang bersih dengan ombak setinggi 3-7 meter menjadi daya tarik tersendiri para wisatawan mancanegara. Selain itu, Eksotisme lumba-lumba pula menjadi buruan hangat para wisatawan.
Salah satu masyarakat pulau
pisang Suharjo (50) mengatakan senang jika pulau pisang menjadi salah satu
tempat referensi pariwisata di Lampung “Kami senang banyak wisatawan yang
datang, apalagi jika mereka menyewa jukung untuk berburu lumba-lumba. Sekali
sewa kami dibayar tiga ratus ribu rupiah,” ujarnya.
Suharjo mengharapkan
pemerintah memperhatikan fasilitas yang tersedia di pulau ini. “Jika ingin
dijadikan tempat wisata, fasilitas harus benar-benar diperbaiki.”ungkapnya. *
Categories:
Jalan-jalan,
Pulau Pisang Lampung