,

Dirikan Organisasi Serikat, Belasan Karyawan Lampung TV dipecat

Press release

Ironis. Di luar, Harry Tanoesoedibjo mengesankan diri sebagai agen perubahan, tetapi di dalam internal perusahaan MNC Grup, ia mem-PHK belasan karyawan Lampung TV karena mendirikan Serikat Pekerja. Eksekusi dilakukan oleh anak buah Harry Tanoe, M Arief Suditomo, Direksi PT Sun Televisi Network, dan stafnya, yang terdiri dari Wijaya Kusuma dan Syafrudin Siregar, pada pertemuan dengan karyawan PT Lampung Mega Televisi di Bandarlampung, Senin, 4 Februari 2013.

Baca selengkapnya »

,

Aku Sehelai Daun

Kali ini aku ingin memulainya. Bukan memulai lebih tepatnya. Tetapi mengulang kembali duka yang selalu singgah dihati. Tak pernah jera, juga tak pernah lelah. Aku ingin mencoba, bukankah ini fitrah ?.

Aku bagai sehelai daun..

Baca selengkapnya »

, ,

Profil-Ardi Wilda Irawan

Ingin Nyalakan Lilin diseluruh Daerah 

Bulan-bulan awal berada dikamar asing selalu membuatnya terkejut dikala pagi menyapanya. Rasa tidak percaya bahwa ia berada di daerah baru sempat membuat nyalinya ciut. Namun ia tidak gentar. Ia yakin langkahnya harus dimulai dari sini.

Lelaki muda berkacamata frame hitam, tanpak duduk santai di sebuah kafe di Bandarlampung. Ia sibuk memainkan handphone sambil sesekali mengunyah makanan yang sudah dipesannya. Sekilas tidak ada yang berbeda dari perawakan lelaki kelahiran 1 Mei 1988 ini. Siapa sangka, lelaki ini adalah salah satu volunter Indonesia Mengajar (IM) yang sedang berada di Tulang Bawang Barat.

Baca selengkapnya »

, , ,

Mesuji - 17 Tahun Kami Menderita

Buka www.Teknokra.com
Mesuji-Lampung: Perjalanan menuju tiga Desa di perbatasan sungai Mesuji yaitu Sritanjung, Nipah kuning dan Kagungan Dalam harus ditempuh kurang lebih empat  jam dari jalan lintas timur perempatan Simpang Pematang. Masuk menuju kawasan Register 45 kemudian melewati beberapa desa Transmigrasi dan baru masuk ke wilayah perkebunan karet dan sawit baik milik warga maupun milik Perusahaan.


Jalan yang dilalui bukanlah jalan yang mulus. Jalan dengan keadaan tanah merah dan rusak parah karena banyaknya lubang hasil tersangkutnya ban mobil besar maupun kecil menambah lambat perjalanan. Belum lagi jika musim penghujan. Keadaan jalan akan makin parah bahkan mungkin sebagian kendaraan mesti mengambil jalan pintas menuju ketiga desa tersebut dengan masuk kekawasan kebun karet. Jalan ini pun bukan hasil pembukaan jalan oleh Pemerintah daerah tetapi karena swadaya masyarakat dan karena berdirinya beberapa perusahaan. Penerangan jalan pun jauh dari harapan. Tidak ada sama sekali. Sehingga kendaraan mesti sangat berhati-hati memasuki daerah tersebut.

Menuju ke desa yang bisa dibilang terisolir ketika musim penghujan bukanlah perkara mudah. Kebanyakan warga yang ingin masuk kedaerah ini meski berfikir berkali-kali jika tidak ada kepentingan yang mendesak. Sritanjung, Nipah Kuning dan Kagungan Dalam berada di wilayah kabupaten Mesuji hasil pemekaran Kabupaten Tulang Bawang, Lampung. Ketiga desa ini berbatasan langsung dengan Provinsi Sumatera Selatan yang  hanya dipisahkan oleh sungai Mesuji. Berjarak sekitar satu kilometer.

Kehidupan masyarakat di desa sekilas terlihat hampir sama pada umumnya. Ketiga desa ini memang mencuat namanya ketika menjadi sorotan pasca di laporkannya aksi pelanggaran Hak Asasi Manusia di sodong. Kemudian karena kasusnya hampir mirip dengan kasus pada desa sodong maka terkuak pula adanya kasus kekerasan yang diduga dilakukan pihak perusahaan PT.Barat Selatan Makmur Investindo (BSMI) kepada warga yang mengakibatkan satu orang warga Kagungan Dalam meninggal dunia  dan  tujuh warga terkena tembakan peluru api maupun peluru karet dalam insiden yang terjadi pada tanggal 10 November lalu atau bertepatan dengan hari Pahlawan. Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dipimpin oleh Deny Indrayana atas instruksi presiden telah di bentuk. Sebagai tim yang diharapkan masyarakat bisa mengungkap kebenaran tanpa ada keberpihakan kepada golongan tertentu.

Peristiwa 10 November 2011

Waisah (48) tidak mengira hari itu kamis, (10/11) menjadi hari yang paling mengerikan dalam hidupnya. Keadaan desa Sritanjung yang telah menjadi naungan hidupnya selama lebih dari umur yang dimilikinya begitu mencekam. Korban luka tembak mulai berjatuhan akibat bentrok panas yang terjadi di wilayah PT. Barat Selatan Makmur Investindo (BSMI), antar masyarakat desa Sritanjung, Kagungan Dalam dan Nipah Kuning Kecamatan Mesuji, Lampung dengan puluhan polisi, marinir dan brimob yang siaga di areal PT.BSMI.
“Seperti perang dizaman penjajahan hari itu, warga luka tembak dengan darah mengalir berdatangan di Desa,” ujar Waisah bercerita. Siang itu, sekitar pukul 11.00 WIB  menjadi puncak kemarahan sekitar 300an warga dari tiga desa yaitu Sritanjung, Nipah Kuning dan Keagungan Dalam yang berada dikawasan PT.BSMI.

Saksi kunci sekaligus korban menuturkan, pagi itu firasat tak enak sudak dirasa sebelum dirinya berangkat ke perkebunan ujar Hendrik (35) warga Sri Tanjung yang mengaku pernah bekerja di PT BSMI sebagai satpam blok. Hendrik hendak pergi ke perkebunan dengan maksud ikut melakukan pemanenan seperti yang telah dilakukan warga lain. Panen dilakukan di lahan kelapa sawit yang telah di klaim oleh masyarakat sebagai lahan mereka. 

Ia mengaku  baru pertama kali itu hendak ikut melakukan pemanenan. Alasan hendrik ikut memanen karena dirinya mengaku kesal dengan tindakan PT.BSMI telah memutuskan hubungan kerja dengan dalih penonaktifan sementara kepada petugas PAM Blok sejak 4 November 2011. Tak hanya itu gajih bulan Oktober yang harusnya sudah diterimapun belum dibayarkan hingga memasuki awal November. Beberapa kali Hendrik mencoba menayakan kepada pihak perusahaan. Alasan tak pernah berubah, gajih sedang di gantung. Hendrik yang telah bekerja di PT BSMI sejak 2005 ini juga mengaku dirinya dalam satu bulan bekerja hanya di bayar 20 hari dengan gajih 32 ribu per hari. Hal ini dilakukan pihak perusahaan sejak terjadinya krisis global yang terjadi beberapa tahun terakhir ini. Dan perusahaan menjadikan itu sebagai alasan pengurangan gaji harian ketika para karyawan menanyakan permasalahan itu.

Akhirnya Hendrik memutuskan untuk melakukan pemanenan pada rabu pagi itu. Hendrik tidak pergi sendiri tapi dirinya mengajak Gani (40) yang memang rumahnya bersebelahan dengan rumahnya. Dengan berboncengan menggunakan sepeda motor milik Hendrik mereka menuju lahan perkebunan. Hendrik dan Gani memutuskan melakukan pemanenan di blok R24, blok ini dulunya merupakan Blok yang dijaga oleh Hendrik dan merupakan primer perbatasan antara lahan Inti dengan lahan yang seharusnya menjadi lahan plasma.
Sesampainya di Blok R24 Hendrik dan Gani menemukan Pos R24 yang sudah dibakar. Tidak mengetahui siapa yang melakukannya yang kemungkinan dilakukan pada malam hari. Hendrik dan Gani tetap melakukan pemanenan tidak jauh dari pos yang terbakar tersebut. Setelah melakukan pemanenan, Gani dan Hendrik  yang hendak memindahkan hasil panenen ke dekat  jalan. Baru sekitar 10 janjang kelapa sawit hasil panenan mereka angkut, dari kejauhan Hendrik melihat rombongan petugas keamanan mengenakan seragam loreng. Tanpa pikir panjang Hendrik lari menghampiri Gani dan mereka berdua lari ketakutan. Tak jalas alasan kenapa merake takut namun keduanya mengaku takut di tangkap.

Melihat kedua warga lari petugas patroli yang pada saat itu adalah satuan marinir berteriak agar mereka tidak lari. Namun keduanya tetap lari dengan meniggalkan motor dan hasil panenennya. Hendrik dan Gani saat itu lari terpisah.

Gani yang mengaku ketakutan terus berlari tak tentu arah, sedangkan Hendrik lari tak jauh dari lokasi awal pemanenan dan segera menghubungi adiknya yang berada di kampung melalui Hp yang dibawa.

Berawal dari kajadian itu warga mulai berkumpul. Puluhan warga yang memang pada saat itu berada di lahan perkebunan mendatangi rombongan petugas marinir hendak menayakan apa yang terjadi dan meminta kendaraan Hendrik untuk di kembalikan, rombongan marinir pun menyerahkan motor Hendrik. Namun dalam pengkuannya Hendrik menerima motor miliknya sudah tidak di tempat semula dan dalam keadaan kunci stang yang patah, ban depan dan belakang sudah dalam keadaan kempes, kabel busi yang diputus dan kondisi motor sudah lecet semua. “Kemungkinan motor saya di tarik,” ujar Hendrik saat menceritakan kejadian tersebut.
Setelah petugas patroli meninggalkan lokasi perkebunan, Hendrik baru sadar Gani yang semula bersama Hendrik  belum terlihat. Warga yang sudah  berkumpul saat itu sekitar 200an orang berinisiatif untuk mencari Gani di areal perkebunan. Setelah mencari diantara pepohonan sawit sekitar 30 menit Gani tidak juga ditemukan. Warga mulai cemas Gani ditangkap oleh petugas patroli.

Pukul 11.00 Sekitar 200an masyarakat yang dihubungi Hendrik, ramai-ramai mendatangi Pos Divisi 2 PT.BSMI. sambil membawa beberapa senjata tajam yang mereka gunakan untuk memanen sawit seperti parang, alat sodos, dan lain-lain masyarakat mendatangi Pos Divisi 2. Massa yang berjumlah ratusan orang mulai menanyakan keberadaan tentang hilangnya Gani kepada sekitar 20an petugas kepolisian yang berjaga di Pos Divisi 2 PT.BSMI. Saat itu terjadilah percekcokan antara polisi dengan masyarakat. Polisi yang takut aksi massa memuncak karena semua membawa senjata tajam akhirnya mengeluarkan tembakan dan Rano Karno tertembak dibagian perut dan tangan.

Rizal juga menceritakan kronologis kejadianya. Setelah sampai di Pos Divisi dua warga sempat berdialog dengan petugas Brimob yang memang berada di Pos itu. Warga hanya menayakan apakah Gani ditangkap. Awalnya 6 orang yang perwakilan yang menemui petugas Kepolisian untuk menanyakan keberadaan Gani yaitu Rizal, Dikin, Rano Karno, Fudin dan Roali. Namun, petugas polisi dengan nada tinggi mengatakan tidak tahu keberadaan Gani. Karena pada waktu itu petugas polisi mengaku tidak melakukan patroli dan belum ada koordinasi dengan petugas marinir yang berpatroli. Petugas brimob dan kepolisian saat itu berjumlah sekitar 20 orang dan memerintahkan warga untuk bubar dan mencari Gani sendiri.
Merasa mendapat perlakuan yang menurut warga tidak sesuai wargapun mulai panas. Hingga akhirnya bentrok warga dengan petugas terjadi. Suasana semakin tidak terkontrol. Dan merasa terancam pihak kepolisian mengeluarkan tembakan. Hingga akhirnya salah seorang dari warga yaitu Rano Karno yang saat itu hendak pergi dan belum sempat menghidupkan motornya terkena sasaran tembakan dari petugas di perut dan bagian lengannya. Melihat salah seorang warga tertembak warga semakin brutal dan menghancurkan seluruh mes dan isinya di Divisi II Hingga terjadi pembakaran. Melihat warga yang semakin tidak terkendali Petugas kepolisian dan brimob mundur dan meninggalkan pos Divisi II.

Petugas Polisi mundur dari Pos Divisi II PT. BSMI menuju lokasi pabrik untuk mengamankan karyawan yang bekerja di PT. BSMI dan barang-barang milik pabrik. Berdasarkan keterangan Kadiv Humas Polres Tulang Bawang Bambang Suepeno, pihak kepolisian mendapatkan laporan bahwa masa sudah melakukan tindakan anarkis dan jumlahnya besar sehingga Kapolres memerintahkan untuk menambah sekitar 60 orang gabungan personil Polda, Polres dan Brimob. Satu diantaranya Kapolres Tulang Bawang.

Sekitar pukul 15.00 Personil tambahan tersebut sampai di pabrik. “dari kejauhan personil polisi yang diterjunkan melihat asap sudah mengepul di beberapa titik,” ujar  Humas Polres Tulang Bawang Bambang Supeno yang saat itu ikut ke lokasi.

Begitu juga dengan pos polisi yang ada dipabrik juga sudah terbakar.  Saat itu massa yang jumlahnya sekitar 400an sudah berada di pabrik. Begitu rombongan kepolisian datang dan baru memasuki Guest House sekitar 7 motor menghampiri mobil patroli petugas dan saat itu Kapolres ada di mobil paling depan. Salah satu warga yang berada di barisan paling depan adalah Zaelani (50) membonceng anaknya Sarni (25). Sekitar 4 meter mendekati mobil Sarni anak Zaelani melompat dari motor dan berlari menghindar. Sedangkan Zaelani yang merupakan warga desa Keagungan  Dalam dengan posisi mengendarai motor satu tangannya mengacungkan parang panjang. Gani terus mendekati mobil kepolisian dan karena dikhawatirkan dapat membahayakan personil termasuk Kapolres terdengarlah suara Tembakan. Dan Zaelani pun tersungkur di tempat. 

Melihat pamannya terseungkur, Muslim (17) hendak menolong namun tembakan juga bersarang di kakinya. Warga yang mendengar tembakan yang bertubi-tubi menjadi kalangkabut dan berusaha menyelamatkan diri. Namun beberapa orang terkena sasaran tembak seperti Robin (17) yang tertembak dibagian kaki kiri dan Harun (17) tertembak dibagian tumit kiri.Korban pun berjatuhan warga yang semula hanya ingin menanyakan keberadaan salah satu warganya di sambut brondongan tembakan.

Zaelanipun, gagal diselamatkan warga, karena pihak kepolisian membawa Zaelani didalam mobil polisi. Rizal saksi mata ditempat kejadian mengatakan petugas kepolisi saat di pabrik mengeluarkan tembakan secara langsung tanpa tembakan peringatan, “Kami belum sempat berdialog dengan kepolisian saat di pabrik, tapi polisi sudah langsung memberondongi kami dengan tembakan” ujar rizal yang tinggal di desa Sritanjung.

Kaporles Tulang Bawang, AKBP Shobarmen yang berada ditempat ikut menenangkan massa. Massa terus memaksa kepolisian untuk melepaskan Zaelani yang diduga ditangkap pihak kepolisian. Setelah kejadian itu, pihak kepolisian pun mundur dan benar-benar mengosongkan pabrik sedang warga melakukan pembakaran terhadap pabrik PT.BSMI sebagai puncak kekesalan.


Awal mula Konflik PT.BSMI

Kehidupan masyarakat di sepanjang Sungai Mesuji, atau sering juga di sebut sebagai Mesuji Perairan mulanya benar-benar mengandalkan alam. Semua warganya berpenghasilan dari lahan yang oleh mereka selama ini disebut sebagai tanah ulayat atau tanah adat yang secara turun temurun mereka tinggali dan mereka garap sebagai sumber kehidupan. Tanah ini memang diakui oleh negara.
Masing-masing warga bebas menggarap lahan sesuai dengan kemampuan mereka. Mereka menanaminya dengan tanaman buah, kayu dan ada juga yang dimanfaatkan sebagai lahan padi Sonoran yaitu padi sebar yang akan tumbuh ketika musim penghujan. Hasil dari padi sonoran ini bisa dipakai untuk memenuhi kebutuhan beras selama 3 tahun dalam sekali panen. Tak pernah terjadi perebutan lahan antar warga. Wargapun merasakan kesejahteraan dari hasil garapan lahan mereka. Selain itu warga juga masih dapat menikmati melimpahnya ikan di sepanjang aliran sungai Mesuji yang menjadi batas antara provinsi Lampung dan Sumatera Selatan.

Hingga akhirnya pada tahun 1994 beberapa orang dari pemerintah daerah yang saat itu masih dalam Kabupaten Tulang Bawang bersama petugas Badan Pertanahan Nasional (BPN) Lampung Utara datang. Mereka memberikan sosialisasi akan adanya sebuah perusahaan perkebunan yang akan beroprasi di lahan mereka. Perusahaan itu adalah PT. Barat Selatan Makmur Investindo (BSMI). Status PT.BSMI saat itu sudah mendapatkan Izin Usaha, jadi warga hanya dilibatkan dalam sosialisasi penentuan luas wilayah dan penentuan harga ganti rugi lahan garapan warga yang termasuk dalam lahan perusahaan. Walaupun akhirnya penetapan harga tersebut dilakukan sepihak.

Wilayah yang awalnya di tentukan dalam izin PT. BSMI adalah seluas 10.000 ha sebagai lahan inti, dan lahan seluas 7000 ha untuk plasma. Lahan plasma merupakan pengelolaan lahan perkebunan yang dilakukan secara kemitraan antara Perusahaan dengan warga. Setelah berjalan warga dipekerjakan sebagai buruh harian lepas dengan upah saat itu 12 ribu. Dengan masa kerja yang semakin lama semakin tak tentu harinya.

PT.BSMI pada tahun 1995 menambah lokasinya namun atas nama PT.Lampung Inter Pertiwi (LIP) seluas 6000 hektar. LIP masih satu pimpinan dengan BSMI. PT. BSMI juga Menentukan harga yang sepihak, menetapkan tanah rekognisi sebesar 50% sehingga tanah yang dibayar dr BSMI hanya 5000,LIP 3.314 kelebihan lahan waktu pengukuiran oleh BPN seluas 2.455 total tanah yang dikuasai tanpa izin 17.769 HaLahan warga diberikan ganti rugi Rp150 ribu/ha itupun warga harus membersihkan lahannya. Dan dengan sistem Rekognisi atau penggantian dilakukan hanya pada 50% dari luas lahan. Dan sisanya adalah lahan negara yang akan diganti rugi langsung kapada negara. Dari keputusan ini warga sudah malakukan keberatan. Warga meminta penggantian tidak secara rekognisi namun secara keseluruhan dan warga juga mengajukan harga ganti rugi sebesar 300 ribu untuk lahan Perairan dan 500ribu untuk lahan daratan.namun tuntutan wargapun tak dihiraukan.

“proses pembebasan dilakukan secara paksa” Ujar Ajar Etikana. “Saat itu masih rezim orde baru, jadi siapa yang malawan akan ditangkap”.
Setelah bertahun-tahun menanti janji perusahaan untuk menyerahkan plasma pun tak juga terealisasi hingga saat ini. Hingga akhirnya tanah yang dianggap oleh warga milik plasma mereka. Masyarakatpun mulai mulai menggarap sejak oktober 2011. Memanen buah nya untuk kehidupan mereka. Itupun dengan diam-diam. Jika ada yang ketahuan mencuri, polisi yang berjaga tak segan untuk menangkap warga.

Cerita dahulu, tidak sekarang

Sebelum PT. BSMI masuk, masyarakat ketiga desa Sritanjung, Kagungan dalam dan nipah kuning sadahulu hidup dengan sangat makmur. Tanah ulayat yang mereka klaim milik mereka yang tumbuh lebar dengan tanaman ilalang masyarakat babat habis. Masyarakat mulai memanen Padi Sonor dan memanfaatkan daun purun yang dianyam menjadi tikar sebagai mata pencaharian. Begitupula ikan yang benar-benar melimpah dari aliran sungai Mesuji.

Masyarakat benar-benar bergelut dengan kekayaan alam yang memang tersedia di daerah tersebut. Pohon purun yang memang tumbuh subur ditanah rawa benar-benar dimanfaatkan oleh wanita dari ketiga desa tersebut. Setiap hari sambil menunggu suami pulang dari ladang dan mencari ikan, para ibu-ibu dan remaja sibuk menganyam daun purun untuk dijadikan tikar.

Namun, cerita menganyam tikar itu akan sangat sulit dijumpai lagi saat ini. Bermula sejak PT. BSMI masuk. Semua tanaman purun dibabat habis, berganti dengan tanaman sawit milik PT.BSMI. Masyarakat bukan hanya kehilangan ladang padi sonornya namun kehilangan mata pencaharian lain seperti ikan yang sulit dicari karena limbah pabrik dan pohon purun yang tak dapat lagi ditemui.

Rusmona (45) merupakan satu-satunya warga Desa Sritanjung yang hingga sekarang masih terus membudayakan menganyam tikar daun purun. Saat ini Rusmona meski mencari pohon purun dari desa tetangga yaitu desa Sodong untuk terus menganyam tikar.

Rusmona menuturkan, 17 tahun lalu para wanita di desa ini  pintar menganyam tikar. Satu buah tikar selebar 1 x 1,5 dijual seharga Rp 6000,00. Tikar-tikar yang sudah jadi dijual ke Tulangbawang. “setiap hari ada saja pedagang yang memborong tikar buatan masyarakat desa sini,”ungkapnya.

“Kami menderita selama 17 tahun”

Hajar Etikana (45) kordinator masyarakat desa Sritanjung Sejak PT. BSMI masuk, lambat laun kehidupan masyarakat berubah 360 derajat. Mata pencaharian masyarakat langsung terputus. Kehidupan masyarakat mulai bergantung dengan PT.BSMI sebagai buruh Harian Lepas (HL) yaitu dengan membersihkan ilalang disekitar tumbuhan sawit dan nebas (buka lahan-red). Seorang HL yang bekerja sejak pukul 06.30-15.00 Wib hanya dibayar Rp 32.000,00 perhari. Itupun belum dipotong ongkos naik perahu kotok pulang-pergi sebesar Rp 4000-6000 perhari. Alhasil, nominal Rp 28.000,00 hanya diterima ditangan. 

Waisah menuturkan, PT.BSMI hanya manis dimulut diawal saja. Janjinya untuk memperkerjakan masyarakat pribumi hanya cerita manis. PT.BSMI memang memperkerjakan masyarakat pribumi namun hanya sebagai HL, bukan karyawan tetap. Karyawan tetap justru banyak diambil dari warga transmigran. Untuk masalah penggajian buruh HL pun yang naik pertahun Rp 1200,00 sejak 1994. Lebih parah lagi, gaji tidak dibayarkan full perbulan tetapi selalu digantung selama duahari oleh PT. BSMI. “awalnya memang bekerja tigapuluh hari, namun makin lama jumlah hari makin dikurang oleh PT.BSMI. setahun yang lalu kami hanya dipekerjakan tujuh hari dalam sebulan, itupun dengan upah yang digantung duahari. Jadi kami hanya menerima upah pembayaran lima hari,” ujar Waisah dengan bibir gemetar.

Penderitaan warga kian bertambah. Takkala sejak  Januari 2011, PT. BSMI Benar-benar memberhentikan seluruh aktifitas buruh HL dari warga asli pribumi. Masyarakat mulai resah. Sulitnya mencari sesuap nasi didesa yang jauh dari kota ini karena tak mampu lagi bergantung dengan hasil ikan yang makin sulit dan menganyam tikar pohon purun. Sebagian masyarakat muali merantau ke desa tetangga. Mencoba mengadu nasib kepabrik didesa seberang.

Sedang yang lain terus memcoba mengumpulkan sebutir demi sebutir biji sawit sisa pemanenan PT.BSMI. banyak pula yang nekad menyodos buah sawit dipohon. “Tuntutan perut, memaksa kami mengambil buah sawit dilahan plasma yang tidak diperbolehkan PT. BSMI masuki. Jika ada yang ketahuan, makan kami sering diancam brimob dan marinir yang memang melakukan penjagaan ketat di seputaran lahan.” Cerita Waisah.